Perkembangan
Awal Kekristenan di Asia
(Abad I
hinggaVII)
Abstrak
Dalam
makalah ini, kelompok berusaha untuk memberikan gambaran tentang perkembangan
awal kekristenan di Asia mulai dari abad I hingga abad VII. Periode ini juga
akan memperlihatkan bagaimana perkembangan kekristenan di Asia Hellenistik dan
non-Hellenistik. Perkembangan tersebut tentu tidak terlepas dari berbagai
faktor politik, sosial, budaya (filsafat), dan juga perjumpaan dengan agama
lain yang turut memberikan sumbangan secara positif maupun negatif dalam
perkembangan kekristenan tersebut. Sebagai langkah awal dalam perkembangan
kekristenan, tentu akan melampaui berbagai macam tantangan dan juga hambatan
atau bahkan kemudahan dalam perkembangannya. Hal inilah yang memberikan
keunikan tersendiri terhadap kekristenan dalam bersaksi dan menentukan jati
diri dalam identitasnya.
Kata-kata kunci:
Gnosis,
askese, literatur, aniaya, konsili, rasul.
Perkembangan kekristenan di Asia Hellenistik dan
non-Hellenistik
Asia adalah salah satu wilayah yang memiliki keunikan tersendiri dalam
perjalanan sejarah kekristenan. Di Asia kekristenan lahir, tumbuh dan
berkembang hingga saat ini, meski perkembangannya mengalami pasang surut.
Semakin banyak orang Kristen di Barat menyadari bahwa kekristenan di Asia pada
dasarnya tidak bersumber dari Eropa maupun dari dunia Barat. Tetapi berasal
dari Asia Barat atau Timur Tengah yaitu asal dari agama Kristen tersebut.
Kekristenan berawal di Timur Tengah tepatnya di Galilea dan Yerusalem sejak
abad I (Wessels 2001, 1-2).
Secara alkitabiah, perkembangan kekristenan
berawal dalam Perjanjian Baru khususnya kitab Kisah Para Rasul 2. Dengan
jelas, sejarah [YS1][YS1] kekristenan dimulai sejak
peristiwa Pentakosta di Yerusalem. Dengan kuasa Roh Kudus, Injil dikabarkan
oleh murid-murid Yesus di Yudea, Samaria hingga ke Kaisarea (Kis. 2:40). Di
samping itu, seiring dengan peristiwa pertobatan Paulus, Injil juga dikabarkan
hingga ke Fenisia, Siprus dan Anthiokia meskipun hanya dalam ruang lingkup
orang-orang Yahudi saja. Setelah di Anthiokia, pekabaran Injil mulai melakukan lintas budaya dan orang-orang Kristen mendapatkan julukan sebagai
“Kristen” (Wetzels 2000, 9-10).
Dalam perjalanan Paulus kita dapat melihat semangat Pekabaran Injil yang
sangat luar biasa. Injil tersebar melampaui batas geografis bahkan masuk dalam lingkungan kekaisaran [YS1] [YS2]Romawi
seperti Pamfilia dan Galatia. Sedangkan dalam perjalanan kedua, pekabaran Injil
dapat mencapai Eropa (Kis. 16:9, 11, 12). Tetapi dari sekian banyak perjalanan
Paulus, titik berat perjalanannya adalah Efesus yang merupakan pusat Propinsi
Asia pada saat itu. Sesudah di Yunani, Paulus juga kembali ke Yerusalem hingga akhirnya menuju Italia (Kis. 27:1, 6)
dan khususnya di Roma sebagai ibukota kekaisaran Romawi pada saat itu (Wetzels
2000, 11).
Pertumbuhan gereja dalam kekaisaran Romawi tidak terlepas dari hilangnya
peranan Yahudi Ebonit akibat kekalahan dengan Roma, dan beberapa ratus tahun
kemudian Yahudi Ebonit hilang sama sekali. Sedangkan pengaruh Gereja di Suriah
pada awalnya lebih besar di antara orang-orang yang berbahasa Yunani. Sedangkan
perluasan seperti yang tercatat di Kisah Para Rasul pekabaran Injil semakin
terarah ke Timur mulai dari Anthiokia sampai ke Edessa. Pertumbuhan gereja
dapat terlihat dalam bidang kehidupan Kristen dan teologi. Hal tersebut
dibuktikan dengan berbagai karangan-karangan bapak-bapak apostolik misalnya
Ignatius dalam tujuh suratnya yang menunjukkan tanda-tanda moralisme dan Hukum
Taurat yang baru. Salah satu idenya adalah sebuah jemaat harus dipimpin oleh
seorang uskup, dengan demikian maka terbukalah salah satu langkah ke arah
kepemimpinan klerus dan hierarkhi. Tokoh yang lain juga muncul misalnya
Theophilus uskup Anthiokia yang disebut sebagai apologet pertama di Suriah
yaitu seorang teolog yang membela iman Kristen secara intelektual dalam bentuk
argumentasi (Wetzels, 15).
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kekristenan, maka ancaman juga
turut mewarnai perkembangan tersebut. Misalnya Gnostik, Hegesipus yang seorang
Kristen dari latar belakang Yahudi yang memberikan konsep tentang prinsip dasar
teologi (suksesi apostolik). Pengaruh ini juga sangat didukung oleh Gnositik
yang menggambarkan askese sebagai keunikan gereja Suriah yang semakin menganut
kerabian. Sementara itu, adanya diatessaron
yang disusun oleh Tatianus dan dipakai oleh Efraim dalam pendirian sekolahnya
sebagai bahan pengajaran sesuai dengan teologi Niceanum. Dalam hal ini, diatessaron dipahami sebagai usaha dalam
menyatukan keempat kitab Injil menjadi satu kitab yang kemudian Rabbulah dari
Suriah memperkenalkan Vulgata yang diterjemahkan dengan sederhana dan jelas
yang disebut dengan Peshita (Wessels 2001, 24-25). Namun, pada akhirnya
pemahaman ini ditolak karena berlawanan dengan Firman Tuhan, sedangkan dalam
bidang liturgi, Suriah menjadi daerah yang paling produktif misalnya dalam
pembentukan tulisan-tulisan Apokrif, bagian-bagian liturgis yang menunjukkan
bahwa upacara pembaptisan menurut sifat Suriah berisi upacara mengoleskan,
baptis selam dan perjamuan kudus. Sedangkan dalam bidang teologi, muncul Mazhab Anthiokia yang dipelopori oleh
Paulus dari Samosata (Wetzels 2000, 16).
Sementara tantangan dari luar dapat ditemukan berupa penganiayaan kepada
orang Kristen dari pemerintahan Romawi. Hal ini dilatarbelakangi dari jumlah
penganut agama Kristen yang semakin bertambah banyak jumlahnya di Asia Kecil,
sehingga pemerintah Romawi memberikan peraturan tentang pemerintahan secara
khusus kepada orang Kristen. Surat Plinius kepada kaisar Trayanus yang isinya
mengharuskan orang Kristen menyembah dewa-dewa Romawi dan khususnya Kaisar
sebagai dewa. Peraturan ini tentu menantang orang-orang Kristen yang bertahan
dalam imannya untuk tidak menyembah Kaisar. Akibatnya, banyak orang Kristen
yang mati syahid (mati martir). Sehingga muncul konsep penyembahan terhadap
orang-orang yang mati martir sejak kematian Polikarpus dari Smirna (156/157). Ajang perselisihan teologis juga
termasuk dalam konsep pneumatologi. Tokohnya adalah Montanus dari Frigia yang
mengajarkan akhir zaman sudah dekat (Montanisme). Di kota Neokaisarea muncul Thaumaturgos yang memakai metode adat
dan kepercayaan lokal (dikristenkan). Akibatnya banyak pandangan kekafiran yang
masuk ke dalam gereja. Sementara itu, Ireneus dari Lyon mengajarkan tradisi
sebagai prinsip jaminan iman yang benar (iman ortodoks vs gnostisisme).
Sementara itu, tema-tema lain yang muncul adalah Kristologi (doktrin tentang
logos) dan tema eklesiologi (Wetzel 2000, 19).
Dinamika perkembangan gereja di luar wilayah kekaisaran Romawi juga tidak
jauh berbeda dengan pertumbuhan gereja di luar kekaisaran Romawi. Yang paling
berpengaruh dalam dunia kekristenan pada abad-abad pertama di luar kekaisaran Romawi bukanlah
budaya Yunani. Hal ini dibuktikan dari kekristenan di Suriah yang ditandai
dengan pengaruh Injil Ibrani yang dianggap sebagai kitab Apokrif. Sedangkan
pusat kekristenan pada saat itu terletak di Mesopotamia bagian utara yang
ibukotanya Edessa. Pelopor teologi Suriah adalah Bardesanes (154-222) yang
turut mempengaruhi literatur, kesusastraan dan juga teologi. Teologinya
mengarah pada kebebasan manusia terutama bagi orang Kristen. Sedangkan Mari,
merupakan pelopor penginjilan di daerah Persia. Tantangan yang dialami orang
Kristen di Persia adalah pengaruh pemerintahan baru yang menginstruksikan
Zoroastrisme sebagai agama Negara. Hal ini tentu mengakibatkan orang Kristen
mengalami penganiayaan sehingga gereja memiliki keinginan untuk menjadikan
gereja yang merdeka (Wetzel 2000, 20).
Prinsip teologis Gereja Barat yang memandang Rasul Petrus sebagai pemimpin
duabelas murid Yesus dan turut juga menjadikan Petrus sebagai pemimpin gereja.
Sedangkan perkembangan gereja berikutnya
berlangsung di Arabia. Tokohnya adalah Abhdiso yang mengabarkan Injil ke Arab
Timur dan masih ditemukan keuskupan di Mazun (sekarang Oman). Sedangkan di
India, Efraim menciptakan himne-himne yang menggambarkan pelayanan Rasul Tomas.
Perkembangan gereja di Armenia sekitar tahun 300-an, gereja telah berdiri dan
katalikos sebagai pemimpinnya. Gereja ini memiliki keunikan tersendiri karena
berkembang dalam bidang literatur, terjemahan Alkitab, pembangunan gedung
gereja dan pelayanan diakonia. Sedangkan di Georgia, penyebaran Injil dilakukan
oleh Nino dan berhasil mengkristenkan Raja Georgia dan beberapa kitab
Perjanjian Baru yang diterjemahkan ke dalam bahasa Georgia. Literatur yang
memiliki arti penting dalam perkembangan kekristenan lainnya yaitu kitab Didache dan Injil Tomas. Menurut
Alhambra, kitab Didache memuat
tentang berbagai inti pengajaran dari murid-murid Yesus sekitar abad I dan II.
Kitab ini ditemukan sekitar tahun 1837 oleh Philetheos Bryennios seorang Uskup
Gereja Ortodoks di Nikomedia. Isi dari kitab ini adalah katekisasi moral,
instruksi liturgis, yang berkaitan dengan ibadah pada hari minggu dan yang
terakhir adalah tentang akhir zaman. Secara umum, kitab ini mengutip kitab
Matius dan anehnya tidak menyinggung sedikitpun tentang kitab Markus. Sehingga
memunculkan pemikiran pemikiran baru bahwa kitab ini muncul akibat dari
kebingungan para rasul dalam memberikan pengajaran terhadap orang Kristen yang
berasal dari luar Yahudi (Alhambra 2006, 1-22).
Perkembangan kekristenan di Persia (Partia)
Kekristenan di Persia dimulai dari Edessa dan Arbela. Ada asumsi yang
datang dari sebuah kronik (Arbela/Arbil) bahwa kekristenan tersebut sudah ada
sekitar tahun 100 (England 1996, 15).
Selain itu, kronik yang dicatat oleh seorang rahib bernama Mashih-azakha juga
menggambarkan banyak peristiwa yang dialami oleh umat Kristen antara tahun 99
hingga 540. Sang rahib mengutip catatan seorang guru bernama Habil (Heuken 2008, 63). Dalam kronik tersebut
terdapat peristiwa-peristiwa penting yang mendeskripsikan perkembangan
kekristenan. Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain: “Seseorang yang
melakukan konversi, martir pertama, tempat kekristenan, masa-masa penganiayaan,
pembangunan gereja, dan tingkat (perkembangan) gereja hingga tahun 225 (Foster 1972, 93).”
Seseorang yang melakukan konversi
tertuju pada satu nama, yaitu Paqida. Ketertarikan Paqida pada kekristenan
berawal dari ketertarikannya kepada seorang misionaris bernama Addai, dan
memutuskan untuk menjadi seorang Kristen. Tindakan yang dilakukannya ditentang
oleh orangtuanya sendiri, dan akibatnya Paqida dikurung, namun berhasil
meloloskan diri. Ia mengikuti Addai sekaligus menjadi muridnya. Mereka pergi ke
desa-desa hingga pegunungan sekitar Adiabene untuk berkhotbah (Foster 1972, 93). Kronik itu juga menerangkan
bahwa pada akhirnya Paqida ditahbiskan oleh Addai dan menjadi uskup yang
pertama kalinya di kota Arbela/Arbil pada tahun 104 (Heuken 2008, 64).
Tahun 114, Paqida meninggal. Keuskupan di Arbil mengalami kekosongan hingga
enam tahun lamanya. Pada masa keuskupannya, Paqida mengangkat seorang diaken
bernama Samsum. Ia menjadi seorang yang diajukan namanya oleh uskup dari
Bait-Zabdi untuk menjadi uskup Arbil menggantikan Paqida. Seperti halnya Addai,
Samsum juga melakukan khotbah di desa-desa.
Pada suatu ketika, ia menetang praktik kepercayaan Zoroaster yang menjadikan
anak-anak sebagai kurban dalam penyembahan api keramat. Di sisi lain, praktik
tersebut merupakan bagian penting dan amat dijunjung oleh kepercayaan
Zoroaster. Pada akhirnya, ia pun didiskriminasi dan dipenggal (123). Samsum
menyandang sebutan sebagai martir pertama gereja di timur (Heuken 2008, 64).
Selain uskup yang menerima kejamnya penganiayaan, perlakuan yang sama juga
didapat oleh umat Kristen. Penganiayaan terhadap umat Kristen datang dari para
imam Zoroaster. Mereka menghasut para rakyat untuk menganiaya umat Kristen
bahkan membakar rumahnya. Hal demikian terjadi di tahun 160 dan 179. Namun
demikian, penganiayaan yang dilakukan bukan mengurangi jumlah umat Kristen,
justru umat Kristen di Persia bertambah banyak. Hingga tahun 225, tercatat ada
15 uskup di Persia. Secara singkat inilah perkembangan kekristenan yang dicatat
dalam kronik Arbil.
Pada awalnya, kekristenan di Persia, seperti yang tercatat dalam kronik
Arbil, berada di bawah pemerintahan kekaisaran Partia. Namun dalam
perkembangannya, pada tahun 226 telah terjadi perebutan kekuasaan yang
dilakukan oleh kekaisaran Sassanid. Kekaisaran ini berhasil merebut kekaisaran
Partia, menjadikan Ktesifon sebagai ibu kota, dan kepemimpinan dipegang oleh
raja Sassanid yang bernama Ardhashir. Kondisi ini pun membuat kekristenan
berada di bawah pemerintah kekaisaran Sassanid
(Foster 1972, 95).
Pada masa itu, kekaisaran Sassanid sedang berperang dengan kekaisaran
Romawi dan kekalahkan diterima oleh Romawi pada tahun 256. Perang tersebut
membuat umat Kristen (Siria) menjadi tawanan dan diasingkan di Persia. Hingga
tahun 315, Konstantinus Agung mengirim surat kepada kekaisaran Sassanid yang
saat itu dipimpin oleh Shapur II. Surat tersebut merupakan suatu permohonan
agar umat Kristen dilakukan dengan baik. Namun demikian, Shapur II merespons
surat tersebut secara negatif, karena ia berasumsi bahwa umat Kristen memihak
kekaisaran Romawi. Akhirnya terjadilah penganiayaan dan diskriminasi secara
besar-besaran terhadap umat Kristen di tahun 339-363 dan 379-401, bahkan
penganiayaan ini lebih besar dibandingkan sebelumnya. Di sisi lain,
penganiayaan didukung para imam Zoroaster yang tidak suka terhadap perkembangan
kekristenan di Pesia. Tentu para imam tersebut didengarkan perkataannya,
mengingat Zoroaster menjadi agama resmi kekaisaran. Dalam peristiwa penganiayaan
ini, ada satu nama, yaitu seorang katolikos Ktesifon bernama Shimun. Ia
dianggap sebagai pengkhianat kekaisaran dan dikukum mati dengan dipenggal. Umat
Kristen juga diharuskan membayar pajak dengan tinggi agar mereka menjadi
miskin, bahkan pada akhirnya mereka juga dibunuh. Selain itu, gereja-gereja
juga menjadi objek pengrusakan. Seorang sejarawan abad V bernama Sozomenos yang
menulis perihal peristiwa tersebut melaporkan bahwa korban dari penganiayaan
tersebut kurang lebih sebanyak 16.000 jiwa (Heuken
2008, 64-65).
Kekristenan di Persia sempat mendapatkan perlakuan baik di awal abad V.
Pada saat itu, pemerintahan di Persia berada di bawah pimpinan Yazdegerd I yang
melakukan perdamaian dengan kekaisaran Bynzantium. Ia mentoleransi umat
Kristen, bahkan menginstruksikan agar gereja-gereja dapat dibangun kembali.
Oleh karena kebaikankan, maka dapat dikatakan bahwa keberlangsungan kekristenan
dan gereja pada masa ini berjalan dengan baik
(Heuken 2008, 69).
Pada masa kekristenan di Persia, pertikaian ternyata tidak hanya terjadi di
antara pemerintahan Persia dan Romawi saja, namun pertikaian para teolog saat
itu juga terjadi. Sebagai contoh, pertikaian yang terjadi antara Uskup Barsauma
dengan Katolikos Babowai perihal pernikahan pejabat gereja. Babowai dikhianati,
sehingga ia dipenjara dan dibunuh. Dengan begitu sidang pada tahun 486
menginzinkan diakon, imam, dan uskup mempunyai istri sebelum ditahbiskan. Pada
awal abad VI, pelaksanaan peraturan gereja menjadi merosost. Banyak para uskup
yang menikah, para rahib meninggalkan biara, dan jabatan gereja didapatkan
dengan cara yang tidak wajar. Di tengah-tengah keadaan tersebut, muncul seorang
katolikos baru bernama Mar Aba I. Ia memberikan pembaruan pada gereja,
khususnya disiplin atau tata tertib gereja. Selain itu, ia juga membangun
banyak sekolah (Heuken 2008, 70-71).
Uraian Singkat Pekabaran Injil di India
Dalam Kisah
Rasul Tomas[YS2] [YS3], kisah penginjilan Rasul Tomas di India dimulai setelah
hari Pentakosta, di mana kedua belas murid Yesus mengundi untuk menentukan ke
mana setiap orang diutus mengabarkan Injil. Rasul Tomas mendapat tempat di
India, tetapi ia menolak. Kemudian Tuhan Yesus menampakkan diri kepadanya
melalui mimpi agar ia pergi ke India, tetapi ia tetap menolak. Tuhan pun
mengatur agar Tomas dijual sebagai budak kepada seorang pedagang dari India
bernama Habban/Abban yang datang ke Yerusalem untuk mencari tukang kayu (Ruck
2008, 14) (Frykenberg 2008, 94-95).
Di India,
Rasul Tomas dipercayakan untuk membangun istana untuk Raja Gudnaphar. Akan
tetapi, uang yang diterimanya untuk membangun istana digunakan untuk membantu
orang-orang miskin. Ia melihat keadaan masyarakat di sana sangan miskin, bahkan
banyak orang yang sakit dan mengalami kekerasan. Melihat situasi seperti inilah
yang membuatnya memberikan uang pembangunan istana kepada orang-orang miskin
untuk membantu mereka (Ruck 2008, 14) (Frykenberg 2008, 95-96). Dengan
menggunakan uang kerajaan, Rasul Tomas sedang ‘mengajar tentang Tuhan yang
baru, yaitu Tuhan yang menyembuhkan orang sakit, mengusir setan, dan melakukan
hal yang indah di dalam nama Allah” (Frykenberg 2008, 96).
Suatu hari, Raja Gudnaphar
berjalan-jalan untuk melihat pembangunan istananya yang baru. Ketika melihat
bahwa pembangunan istana belum selesai dan uang untuk pembangunan digunakan
untuk keperluan lain, Raja menjadi marah. Rasul Tomas pun menerangkan bahwa ia
sedang membangun istana di sorga bagi Raja Gudnaphar. Raja itu menjadi sangat
marah dan ia memenjarakan Rasul Tomas. Akan tetapi, sesudah Rasul Tomas
melakukan beberapa mujizat, raja bersama dengan adiknya Gad menerima tiga tanda
kekristenan, yaitu: minyak urapan, baptisan kudus dan perjamuan Kudus (Ruck
2008, 14) (Frykenberg 2008, 96).
Uraian Singkat Konsili dan Sinode pada Abad IV-VI dan
dampaknya bagi kekristenan di Asia
Pada abad IV-VI, terjadi beberapa konsili dan sinode yang merumuskan
tentang pengakuan iman rasuli dan merumuskan beberapa pemahaman kristologi yang
ada mengenai tabiat Allah. Konsili ini membahas tema teologis dalam gereja
mula-mula mengenai Allah Tritunggal. Sedangkan di dalam sinode, ada beberapa
keputusan gereja mengenai aturan gereja: Pertama, Konsili Nicea, tahun 324.
Konsili ini menghasilkan keputusan mengenai doktrin Allah Tritunggal yang akan
menjadi milik semua gereja, termasuk gereja di luar Kekaisaran Romawi (Wetzel
2000, 43). Kedua, Sinode Isaac terbentuk pada tahun 410. Sinode ini pimpinan
oleh Ishak, uskup Seleucia-Ctesiphon. Keputusan dari Sinode ini menyatakan
uskup Seleucia-Ctesiphon sebagai primata dari Gereja Timur dan pemberian gelar
‘Katolikos'. Sinode ini juga menyatakan kepatuhan kepada keputusan Dewan Nicea
dan memakai Pengakuan Iman Nicea (Moffett 1992, 154). Ketiga, Sinode Yaballaha
terbentuk pada tahun 420. Sinode ini meresmikan Antkhiokia sebagai gereja
induknya. Ada tiga hal yang dapat dilihat dalam sinode ini, yaitu; dalam proses
organisasi mendapat pencapaian konsensus di antara para Uskup Persia. Kedua,
menjadi tangan panjang pemerintah Persia. Ketiga, memperhatikan serta waspada
dari patriark Antiokhia sebagai perwakilam dari Gereja Barat (Moffett 1992,
159).
Keempat, Sinode Dadyeshu terbentuk pada tahun 424. Sinode ini dibentuk
karena adanya laporan dewan sebelumnya yang menyatakan bahwa Katolikos dari
Seleukia-Ctesiphon adalah "tertinggi dan tunduk di antara para uskup dari
Timur bersamaan dengan patriark Timur atau Barat." Dengan kata lain, mau
menyatakan bahwa Gereja di Asia itu bebas "dalam Kristus" di bawah
dari kepemimpinan Katolikos; tidak menentang, tetapi sama dengan Barat (Moffett
1992, 163). Sinode ini juga berhasil mendirikan keuskupan Merw, di Margiana (Wetzel, 2000, 56). Kelima,
Konsili Oukumenis di efesus, tahun 431. Konsili ini mengambil dua keputusan
mengenai konsep Kristologis, yaitu konsep Nestorius (duofisitisme) ditolak dan
konsep Kyrillos (monofisitisme) diterima. Konsep Kyrillos adalah konsep monofisitisme,
kesatuan tabiat ilahi dan manusiawi di dalam Kristus diakui. Konsep Nestorius
adalah konsep duofisitisme, tabiat manusiawi di dalam Kristus. Keenam, Konsili
Kalsedon, tahun 451. Konsili ini menghasilkan dua keputusan, yaitu: Rasa
persatuan yang mengajarkan untuk mengakui Dia sebagai Anak, Tuhan Yesus Kritus
sempurna baik dalam keilahian dan kemanusiaan-Nya. Mengakui bahwa Dia adalah
benar-benar Allah dan benar-benar manusia. Selain itu, se-‘ia’ se-‘kata’
mengenai ajaran tentang Kristus satu dan sama, Tuhan Anak Tunggal, sungguh
Allah dan sungguuh manusia di dalam dua kodrat dan kodrat tersebut tidak dapat
dicampur adukkan, dipisahkan dan tidak dapat dibagi (Wetzel, 2000, 44-45).
Keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam konsili ternyata menimbulkan
skisma, terutama pemahaman terhadap Kristologi. Khususnya untuk kawasan Asia,
skisma yang muncul pasca Kalsedon pada tahun 451 dengan perumusan ‘Pengakuan
Iman Rasuli’ membuat gereja di Asia terbagi menjadi 3 denominasi. Pertama, Asia
Barat bagian Barat menganut Ortodoksi Khalkedonik, terdiri dari beberapa
gereja, antara lain: Gereja Yunani Ortodoks di Asia Kecil, gereja Melkit.
Secara formal, hubungan gereja ini dengan Barat belum terputus dan kesatuan
prinsipil dengan gereja Roma Katolik masih ada. Kemudian Gereja Melkit,
merupakan gereja yang masih menganut
paham mengikuti raja dan mendapat tempat istimewa karena mendapat dukungan dari
pemerintah. Selain itu ada Gereja di Georgia, awalnya memiliki hubungan yang
baik dengan gereja Armenia. Hubungan ini tidak berlangsung lama. Armenia segera
memutuskan hubungan baik tersebut karena gereja Georgia mengikuti teologi
Yunani-Ortodoks. Gereja Maronit, gereja ini membentuk gereja sendiri karena
banyak orang Kristen yang menganut monotheletisme. Alasan lain pembentukan
gereja ini karena Kaisar Heraklios tidak berhasil mempersatukan gereja
Yunani-Ortodoks dengan gereja monofisit (Wetzel 2000, 50-52).
Denominasi kedua berada di Asia
Barat bagian Tengah yang mayoritas menganut Monofisitisme, terdiri dari
beberapa gereja, antara lain: Gereja Yakobit, melalui pelayanan Yakobos
Baradaios eksistensi gereja monofisit di dalam perbatasan kekaisaran Romawi
diselamatkan dan gereja Yakobit pun terbentuk (Wetzel 2000, 52). Kemudia
Monofisitisme di Arab Utara. Suku Arab menganut paham monofisitisme dan pada
saat itu Raja Ghassanid mengangkat Yakobos Baradaios ditahbiskan sebagai uskup
daerah itu. Dari Kerajaan Ghassanid, gereja orang-orang kelana di Arab Utara
diorganisir kemudian didirikan keuskupan-keuskupan kelana yang sebagian besar
dari orang Arab di Palestina, dengan pemahaman yang sama yaitu monofisitisme.
Selain itu ada Gereja Armenia. Gereja ini mengalami perselisihan dengan
pemerintahan Persia, yang memaksakan mereka menganut paham zoroastrisme (Wetzel
2000, 54).
Denominasi terakhir berada di bagian
Timur Asia Barat, di Persia, Arab, Asia Selatan dan Asia Tengah menganut
Nestorianisme. Gereja-gereja tersebut antara lain: Gereja Nestorian di Persia,
gereja ini membentuk dialek Suriah sendiri dan perkembangan untuk menganut
paham Nestorianisme dipengaruhi oleh sekolah teologi. Gereja ini dipimpin oleh
Seleukia Ktesifon; Gereja Nestorian di Asia Barat, gereja ini merupakan daerah
perluasan dari Gereja Nestorian di Persia. Perkembangannya dapat terlihat saat
beberapa keuskupan yang baru mulai didirikan, antara lain; (1) Merw (di
Margiana) yang didirikan pada tahun 424 dan berubah menjadi keuskupan agung
pada tahun 524. (2) Herat yang didirikan pada tahun 424 dan menjadi keuskupan
agung pada tahun 585. Selain itu, beberapa keuskupan juga didirikan di
Afghanistan; Gereja Nestorian di India, mayoritas orang-orang kristen di India
menganut Nestorianisme; Gereja Nestorian di Arab, sama halnya dengan
orang-orang kristen di India. Mayoritas orang-orang kristen di Arab juga
menganut Nestorianisme dan disebut “al-Ibad”
(hamba Tuhan). Wilayah Arab Timur memiliki 5 keuskupan di bawah metropolit Arab
Timur, yaitu di Pulau Tarut, Pulau Muharrak, Hatta, Mazun dan Hagar. Wilayah
Arab Timur membawa berita Kristen sampai ke arah Arab Selatan dan dapat
mengembangkan paham uskup Nestorian; Gereja Nestorian di Asia Tengah, gereja
ini menghidupkan misi yang luas dan yang menjadi pusat misinya ialah Keuskupan
Agung di Merw. Perluasan kekeristenan terjadi di Asia Tengah melalui jalur
perdagangan (Wetzel 2000, 55-58).
Kesimpulan
Setelah bertualang menjelajahi kekristenan pada abad I hingga VII, kelompok
melihat bahwa kekristenan pada masa tersebut mengalami perkembangan yang pasang surut[YS3] [YS4]. Di satu
sisi, ada masa-masa ketika kekristenan mendapatkan posisi yang “nyaman.” Dalam
arti, kekristenan berhasil mendapat perhatian para pemimpin dan penguasa,
sehingga ada perlakuan baik dan dukungan dari para pemimpin pemerintahan,
bahkan Kristen pernah menjadi agama resmi bagi suatu negara. Akan tetapi, sisi
lainnya memperlihatkan masa-masa ketika kekristenan dilanda konflik eksternal
maupun internal. Konflik eksternal terlihat ketika kekristenan dianggap
mengganggu stabilitas politik pemerintahan, sehingga menjadi objek diskriminasi
bahkan kekerasan. Selain itu, konflik internal terjadi ketika begitu banyak
sumbangsi pemikiran teologis yang diberikan untuk menata pelaksanaan peraturan
gerejawi, sehingga perpercahan tidak dapat dihindarkan demi mempertahankan
pemikiran-pemikiran masing-masing. Namun demikian, melalui keadaan tersebut,
kita dapat melihat kekristenan dengan corak yang begitu beragam dan kaya.
Daftar Pustaka
Alhambra,
Gabriel Rehatta. Kitab Didache.
Jakarta: Synaxis Press, 2006.
England, John C. The Hidden History of Christianity in Asia: The Churches
of the East before the year 1500. Delhi: ISPCK, 1996.
Foster, John. Church History 1: The First Advance AD 29-500. London: SPCK,
1972.
Frykenberg, Robert Eric. Christianity
in India: From Beginning to the Present. New York: Oxford Unity Press,
2008.
Heuken, Adolf. Agama Kristen di Asia: Dari Yerusalem sampai ke Beiing (abad
ke-1 hingga ke-15). Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2008.
Moffett, Samuel Hugh. A History of
Christianity in Asia: Vol. 1. New York: Harper Collins Publisher, 1992.
Ruck, Anne. Sejarah Gereja Asia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2008.
Wessels,
Antonie. Arab dan Kristen. 2001.
Wetzel,
Klaus. Kompendium Sejarah Gereja Asia. Malang:
Gandum Mas, 2000.
[YS1]Apakah Yerusalem dan Palestina pada abad I tidak termasuk dalam wilayah
kekuasaan Kekaisaran Romawi?
[YS2]Kisah Rasul Tomas hanyalah salah satu saja dari penjelasan tradisional atas kehadiran
pertama Kekristenan di India.
Kelompok tidak teliti membaca literature yang
menjelaskan kompleksitas Kekristenan di India pada enam abad pertamanya, baik
dari sudut penyebaran, perkembangan dan berbagai tradisi yang berbeda-beda.
[YS3]Kesimpulan yang terlalu umum. Sama sekali tidak menggambarkan realitas,
pergumulan, sumbangan Kekristenan dalam masyarakat Asia di mana Kekristenan
hadir.
0 komentar:
Post a Comment